Rabu, 10 Agustus 2011

Superbenua Pangea

Sejarah Bumi Sejak Superkontinen Pangaea Hingga Saat Ini


Sekitar 250 juta tahun yang lalu, hanya ada superkontinen yang dinamakan Pangaea. Kemudian 50 juta tahun kemudian, sekitar 200 juta tahun yang lalu, Pangaea pecah menjadi dua superkontinen, Laurasia di sebelah utara dan Gondwana di sebelah selatan.

Kemudian 135 juta tahun yang lalu, Laurasia bergerak dan pecah menjadi tiga yaitu Benua Amerika Utara, Benua Eropa dan Benua Asia. Sedangkan Gondwana pecah menjadi Benua Afrika, Benua Antarktika, Benua Australia dan Benua Amerika Selatan.

Sekitar 65 juta tahun yang lalu (saat terjadi kepunahan massal Dinosaurus), susunan dan posisi benua secara perlahan berangsur-angsur mirip seperti yang ada saat ini. Ditambah dengan berpisahnya Anak Benua India dari Antarktika dan Benua Australia bergerak relatif ke arah ekuator. Anak Benua India tersebut kemudian menabrak Benua Asia dan karena dua-duanya tidak ada yang mau mengalah, maka dua-duanya saling berlomba menjulang ke atas membentuk Pegunungan Himalaya, pegunungan tertinggi di dunia.


Yaa…karena dua-duanya merupakan kerak benua. Sifatnya sama-sama rigid, sama-sama berkomposisi felsik (Si-Al) dan tentunya densitasnya relatif sama. Jadi tidak ada yang mau nyungsep ke bawah seperti proses penunjaman di Palung Jawa. Lihat postingan sebelumnya di Animasi Mekanisme Penunjaman Kerak Samudra.


Uraian sejarah terbentuknya benua di atas tidaklah menunjukkan bahwa Pangaea merupakan superkontinen tertua dalam sejarah bumi. Umur bumi sendiri sekitar 4.6 milyar tahun. Sedangkan batuan tertua berumur 3.5 milyar tahun. Tentunya ada sejarah superkontinen juga sebelum Pangaea. Hanya saja, merekonstruksi kejadian geologi pada masa yang sangat lampau, seperti Zaman Pra-Kambrium, sangatlah sulit. Data-data geologi lampau tersebut tentunya sudah tertutupi atau terganggu proses geologi yang datang kemudian. Sehingga periode sebelum Pangaea kebanyakan masih berupa hipotesa yang terbuka bagi banyak penafsiran.

Ada Superkontinen Laurussia, Laurentia dan Baltika yang berumur Kambrium. Lebih tua lagi ada Superkontinen Pannotia dan Rodinia yang berumur Pra-Kambrium. Namun untuk merekonstruksi detail semua superkontinen tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah.

Tentunya rekonstruksi detail minimal meliputi bentuk, batas-batas pinggirnya, posisi, arah pergerakannya dan umurnya. Hal seperti ini yang sulit. Dan tentunya akan banyak perdebatan mengenai detail tersebut. Rekonstruksi yang dimulai dari Pangaea pada saat ini relatif sudah diterima luas oleh masyarakat ilmiah.


Ni artikel Pembuktiannya:
Alfred Wegener & Teori Continental Drift


Tiga abad sebelum ALFRED LOTHAR WEGENER (1880-1930) membuktikan bahwa
kemiripan garis pantai sebelah timur benua Amerika Selatan dengan
pantai sebelah barat benua Afrika terjadi karena kedua benua itu
pernah “bersatu”, ABRAHAM ORTELIUS pembuat peta asal Belanda telah
mengamati fenomena yang sama dan berpendapat bahwa Amerika dipisahkan
dari Eropa dan Afrika oleh gempa bumi dan air bah (1596).

Kemudian pada tahun 1858, seorang geografer bernama ANTONIO
SNIDER-PELLEGRINI membuat 2 kartun model yang menunjukkan posisi dan
bentuk benua Amerika Selatan dan Afrika sebelum dan sesudah terpisah.
Modelnya aneh, terutama bentuk bagian selatan Argentina/Chile. Di
kartun model versi Snider-Pellegrini ini, bagian Patagonia digambarkan
tertekuk melengkung dari arah barat ke selatan kemudian ke timur dan
berbalik ke utara, melingkari bagian selatan Afrika dan ujung
Patagonia dibuat hampir menyentuh Madagaskar. Entah Snider-Pellegrini
serius atau tidak saat mengerjakan kartunnya, imajinasinya secara
tidak langsung juga telah menunjukkan bahwa Amerika Selatan dan Afrika
dulu pernah berdampingan.

Tapi imajinasi kedua orang yang baru diceritakan di atas tak pernah
dilontarkan menjadi sebuah teori ilmiah sampai sekitar tahun 1910an.
Pada musim gugur tahun 1911, saat sedang menghabiskan waktu di
perpustakaan Universitas Marburg (Jerman), Wegener menemukan makalah
palaeontologi tentang kesamaan jenis fosil-fosil tumbuhan dan hewan di
Amerika Selatan dan Afrika, padahal, kedua benua itu dipisahkan oleh
Samudera Atlantik yang luas. Rasa penasaran Alfred Wegener membuatnya
mencari lebih banyak informasi mengenai kesamaan-kesamaan fosil di dua
tempat terpisah tersebut, hingga akhirnya ia berpikir, “Mungkinkah
kesamaan fosil-fosil di kedua sisi Atlantik terjadi karena dulu benua
Afrika dan Amerika adalah satu kontinen?”

Menurut para ahli geologi saat itu, model evolusi pembentukan Samudera
Atlantik cuma sederhana saja. Gundu bulat disangka baut, dahulu darat
sekarang laut. Penyebabnya? “Cuma” karena “jembatan penghubung” kedua
daratan itu kolaps kemudian sekarang menjadi dasar laut. Sadar akan
model sederhana ini telah diterima sebagai sebuah kebenaran, Wegener
berusaha mencari bukti-bukti geologi lebih banyak untuk mendukung
teori yang hendak ia lemparkan ke forum ilmiah. Ia pun menemukan bahwa
Pegunungan Appalachian di bagian timur Amerika Utara tersambung dengan
dataran tinggi Skotlandia (Highlands) dan perlapisan batuan Karroo
System di Afrika Selatan identik dengan perlapisan batuan Santa
Catarina System di Brazil. Wegener kemudian menulis sebuah buku yang
berjudul “The Origin of Continents & Oceans” (judul asli dalam bahasa
Jerman) pada tahun 1915, di mana teori Continental Drift
dipublikasikan.

Wegener, yang sebenarnya adalah seorang astronomer (Ph.D Universitas
Berlin, 1904) dan bekerja sebagai meteorologist, tapi memiliki hobi di
bidang ilmu kebumian, segera menjadi sasaran cemoohan ahli-ahli
geofisika dan geologi kala itu. Ahli ilmu kebumian memang manusia yang
aneh. Mereka cenderung sulit menerima sebuah teori baru, maupun
sekedar sebuah pendapat lain atas keyakinan mereka sendiri, hanya
karena mereka tidak tahu atau tidak paham tentang apa yang orang lain
bicarakan. Ketika sudah merasa menjadi seorang ahli, mereka berpikir
sudah tahu tentang segala hal, apalagi jika apa yang mereka bela
adalah “kebenaran umum” yang berlaku. Padahal, jalan pikiran mereka
hanya berdasar atas konsep-konsep ilmu kebumian, data-data dan teknik
pengambilan data yang “ada” pada saat itu juga, bukan data dan alat
baru yang ditemukan/diciptakan di masa depan.

Sikap emosional seorang ahli geologi bernama DR. ROLLIN T. CHAMBERLIN
dari Universitas Chicago membuatnya menulis sebuah makalah berjudul
“Some of the objections to Wegener’s theory” (1928) dan memulai
tulisannya dengan pertanyaan, “Bisakah kita menyebut geologi sebagai
sebuah ilmu jika ada perbedaan pendapat yang begitu hebat untuk
hal-hal dasar hingga teori semacam ini terus berkeliaran?”. Dr.
Chamberlin berpendapat bahwa hipotesis Wegener sama sekali tak
berdasar dan fakta-fakta yang Wegener paparkan hanyalah fakta yang
aneh dan buruk, seperti sebuah permainan tanpa peraturan. Masalah
terbesar di teori Wegener yang membuat para ahli menolaknya adalah
mekanisme perpindahan kontinen yang menurut Wegener terjadi karena
daratan bergeser dengan dasar laut sebagai bidang pergeserannya. “Gaya
sebesar apa yang bisa menarik daratan hingga terpisah begitu jauh di
atas dasar laut sebagai bidang geser tanpa mematahkan dasar lautnya?”
demikian tanya HAROLD JEFFREYS, ahli geofisika Inggris.

Ekspedisi-ekspedisi geologi dilakukan oleh Wegener pada tahun 1920,
1922 dan 1929 untuk mencari lebih banyak fakta guna mendukung
teorinya. Dalam ekspedisi terakhir, Wegener tewas setelah berhasil
mengantarkan suplai makanan kepada koleganya yang sedang melakukan
penelitian di tengah belantara es Greenland, hanya beberapa hari
setelah ulang tahunya yang ke-50. Kelak, seperti yang telah kita
ketahui, berawal dari eksplorasi permukaan laut dan kerak bumi, teori
Continental Drift Wegener menjadi embrio bagi teori Tektonik Lempeng,
di mana kerak bumi baik kontinen maupun kerak samudera ternyata
bergerak di atas asthenosfer jadi bukan di atas dasar laut seperti
hipotesis Wegener.

Pangaea
Kontribusi Wegener bagi kelahiran teori Tektonik Lempeng di tahun
1960-an tentu tidak bisa diabaikan. Di buku “The origin of continents
and oceans” edisi tahun 1920 (ada juga yang menyebutkan nama Pangaea
sudah diperkenalkan sejak edisi 1915), Wegener berpendapat bahwa semua
benua yang ada sekarang sebenarnya pernah bersatu sekitar 225 juta
tahun yang lalu (Ma), yaitu pada Periode Trias Akhir (sudah masuk Era
Mesozoik). Daratan maha luas ini ia beri nama Pangaea, sebuah kata
dalam bahasa Yunani yang berarti “semua daratan”.

Rekonstruksi lempeng tektonik modern dengan menggunakan data
palaeo-magnetik memperlihatkan Pangaea sudah menjadi daratan berbentuk
seperti huruf “C” pada sekitar 255 Ma (Permian Akhir). Pusat
superkontinen Permian ini adalah Afrika, sedangkan di sebelah barat
ada adalah Amerika Selatan, di baratlaut ada Amerika Utara, di utara
dan timur laut ada Eropa, Asia dan Cina Utara, sedangkan di tenggara
dan selatan ada India, Antartika dan Australia. Di sebelah timur? Ada
lautan bernama Tethys, dan terakhir di sebelah timurnya Tethys, ada
Cina Selatan. Sedangkan laut mahaluas yang mengelilingi Pangaea
dinamakan Panthalassa. Pusat superkontinen Pangaea ditengarai berada
di sekitar garis ekuator, kira-kira seperti posisi Indonesia sekarang
(tentu saja secara garis lintang).

Apa bukti keberadaan Pangaea selain rangkaian-rangkaian pegunungan
yang identik seperti Appalachian-Scottish Highlands dan Karroo-Santa
Catarina Systems seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Wegener
(1915)? Jawabannya adalah fosil-fosil genus Lystrosaurus dan genus
Mesosaurus dan flora genus Glossopteris. Lystrosaurus adalah sejenis
reptil pemakan tetumbuhan yang konon sebesar babi, dengan ekor lancip
pendek, kaki pendek, daun telinga kecil dan kepala seperti harimau
yang hidup pada Periode Permian-Trias. Entah palaeontologist mana yang
berhasil merealisasikan imajinasi rupa Lystrosaurus ini, konon ia
pernah hidup di Antartika, India, Afrika Selatan dan Cina.

Mesosaurus adalah sejenis reptil amfibi yang hidup di air tawar.
Bentuknya kira-kira seperti cecak, tapi kepalanya seperti buaya,
badannya fleksibel dan konon ekornya dapat digunakan sebagai semacam
sirip untuk berenang. Tidak jelas berapa ukurannya dan hidup pada
berapa juta tahun yang lalu. Fosil ini ditemukan di Brasil dan Afrika
bagian barat.

Superkontinen Pangaea lalu mulai terpecah pada Periode Trias
Akhir-Juras (Vaughan & Storey 2007), menghasilkan dua superkontinen
yang lebih kecil yaitu Laurasia dan Gondwana. Laurasia yang bergerak
ke arah utara. Intra-continental rifting kemudian diikuti sedimentasi
endapan darat lalu diisi oleh air laut, menjadi Laut Atlantik bagian
utara. Rift basins yang terbentuk saat Pangaea pecah masih bisa
dilihat di bagian Central Atlantic Margin, baik sebelah Amerika Utara
maupun Moroko (Olsen, 1997).

Kali ini cukup sekian dulu. Banyak sekali referensi yang bisa dibaca
mengenai Pangaea, terutama tentang bukti-bukti yang lebih detil.
Artikel ini masih umum sekali, baru memuat sedikit sejarah, deskripsi
bentuk, bukti umum dan kapan Pangaea pecah. Minggu depan saya coba
kumpulkan referensi lebih banyak untuk bercerita lebih panjang tentang
Pangaea.

Ni Fotonya benua pangaea:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar